Dalam perburuan ilmunya di Makkah K.H. Hasbiyallah, yang diperkirakan
lahir pada tahun 1913, berguru kepada tokoh-tokoh ulama-ulama besar
besar Indonesia seangkatannya. Diantara guru-gurunya itu adalah Syaikh
Muhammad Ali Al-Maliki, Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas Al-Maliki, Syaikh
Muhammad Habibullah As-Sanqiti, Syaikh Muhammad Amin Kutbi, Syaikh Hasan
Al-Masysyath, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh ‘Ali Al-Yamani, Syaikh
Zakariya Bila, Syaikh Ahmad Fathoni, Syaikh Umar At-Turki.
Sedangkan
guru-gurunya di tanah air adalah K.H. Anwar, yang termasyhur dengan
sebutan Mua’allim H. Gayar (ayahandanya sendiri), Guru Marzuki bin
Mirshod Cipinang Muara, Guru Muhammad Thohir Cipinang Muara (menantu
Guru Marzuki), K.H. Kholid Gondangdia, K.H. Abdul Majid Pekojan, Guru
Babah, K.H. Abbas (Buntet, Cirebon), Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, dan
Habib Ali Al-Attas Bungur.
Sejek kecil K.H. Hasbiyallah dididik
oleh ayahandanya sendiri, Muallim H. Gayar, yang selain seorang pedagang
juga ulama terkemuka. Mulai dari membaca Al-qur’an sampai ilmu-ilmu
lain, diantaranya memperdalam ilmu tauhid, fiqih, tafsir, hadist, nahwu,
sharaf, balaghah, manthiq, dan sebagainya.
Namun karena
kesibukan ayahnya sebagai pedagang, Hasbiyallah kecil dititipkan kepada
teman karibnya, seorang ulama besar, Guru Marzuki bin Mirshod. Guru
Gayar berkata kepada temannya itu dihadapan temannya yang lain, Guru
Said, “Gua ama Said banyakan ngurusin dagang, ngajarnya kagak kaya elu.
Elu aja yang jadi ulama. Kalo kita jadi ulama bertiga, entar kita pada
berebutan berkat.”
Sebenarnya, ketiga guru itu terkenal dengan
kealimannya masing-masing. Itu terlihat dari jumlah santri mereka pada
zaman berikutnya menjadi ulama-ulama besar.
Mualim H. Gayar dan
Guru Marzuki bin Mirshod belajar kepada Sayyid Ustman Banahsan (Habib
Ustman Muda) dan Habib Ustman bin Abdillah bin ‘Aqil Bin Yahya Al-Alawi,
yang termashur sebagai mufti Betawi dan memilki banyak karya dan
sebagiannya selama puluhan tahun (bahkan lebih dari seratus tahun)
hingga sekarang menjadi pegangan para penganut ilmu dan ulama.
Selama
belajar dengan Guru Marzuki, Hasbiyallah muda banyak mendapat
kesempatan bergaul dengan santri-santri lainnya dari Jakarta dan
sekitarnya yang kemudian menjadi tokoh ulama yang disegani. Di
antaranya, K.H. Mukhtar Tahbrani (Pendiri Ponpes An-Nur, Kaliabang
Nangka, Bekasi), K.H. Noer Ali (Pendiri Ponpes At-Taqwa, Ujung Harapan,
Bekasi), K.H. Mughni (mertua K.H. Noe Ali), K.H. Abdullah Syafi’I
(pendiri Perguruan Asy-Syafi’iyah, Bali Matraman), K.H. Syarkaman
Lenteng Agung, K.H. Rohaimin Gabus Pabrik, K.H. Abdul Hadi (pendiri
Ponpes Cipinang Kebembem), K.H. Abu Bakar (Tambun), K.H. Abdul Hamid
(Bekasi), K.H. A. Zayadi Muhajir (pendiri Ponpes Az-Ziyadah, Klender),
K.H. Ahmad (Pangkalan Jati), K.H. Mukhtar (Pondok Bambu), K.H. Abdur
Rohman Shodri (Bekasi), K.H. A. Mursyidi (Klender), K.H. Muhammad Nur
Bungur Seroja, K.H. Jurjani Bungur, K.H. Thohir Rohili (pendiri Ponpes
Athtahiriyah), K.H. Mualim Sodri Pisangan, Guru Abdurrahman Pulo
Kambing.
Pada tahun 1934, ketika Hasbiyallah sedang giat-giatnya
memperdalam ilmu agama. Allah memanggil sang guru ke haribaan-Nya. Namun
semangat belajarnya tak pernah padam, hingga ia melanjutkan
pelajatannya ke Pondok Pesantren Buntet Cirebon, yang diasuh seorang
kyai besar kharismatik, K.H. Abbas Buntet.
K.H. Hasbiyallah, ulama
yang dikenal luas akan kedalaman ilmunya, yang juga pendiri Lembaga
Pendidikan Islam Al-Wathoniyah, Klender, wafat pada tahun 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar